Saturday, December 12, 2009

Long Time No Letters

Bila kalian mengikuti, sudah lama sekali saya tidak menulis di blog ini. Bukan berarti saya kemarin-kemarin tidak menulis. Saya tetap menulis hanya saja tidak saya post disini. Saya lebih memilih menggunakan facebook untuk menerbitkan (bila bisa dikatakan demikian) tulisan-tulisan saya. Namun, saya rindu juga pada blog saya. Tidak tega melihatnya dibengkalaikan, padahal potensinya lebih besar daripada notes di facebook, saya pun memutuskan untuk menerbitkan salah satu tulisan saya disini lagi.
Bila kalian membaca tulisan-tulisan yang ada di blog ini sebelumnya, kalian akan menemukan beberapa tulisan yang tidak cukup baik (menurut standar saya sekarang). Saya tidak akan lagi mempost tulisan-tulisan macam demikian. Akan saya usahakan sebaik-baiknya tulisan yang dipost disini adalah tulisan yang sudah dipikirkan dengan matang penulisannya. Selain itu, saya juga akan berusaha untuk menerbitkan satu tulisan baru setiap dua minggu (tapi dengan catatangak janji deh.)
Pada saat ini saya sedang mengerjakan sebuah novel, masih terlalu dini untuk memberinya judul. Masih banyak penelitian yang harus dilakukan, tapi saya akan memberikan sedikit bocoran tentang ceritanya: seorang lesbian yang terjebak dalam tubuh seorang pria. Dimohon segala macam bantuan berupa doa, moril, maupun materiil dalam penulisan buku ini. Semoga saya tidak keguguran seperti jabang novel-jabang novel saya lainnya. Selamat membaca tulisan-tulisan saya.

Salam manis,

AP Devindra

Lompat

Kecil sekali orang-orang di bawah sana. Nyata sekali gedung ini lebih tinggi dari kelihatannya dari bawah. Tidak aku kira gedung 15 lantai akan setinggi ini. Di bawah sana hiruk pikuk kota tetap berjalan, tak mengindahkan satu sosok pria ceking di puncak gedung di atas mereka. Siapa pula yang pernah mengindahkan aku? Bagi orang-orang di sekitarku, aku hanyalah bayangan yang numpang lewat dalam hidup mereka. Aku hanya tempat sampah dimana mereka menumpahkan segala kekesalan hidup mereka padaku. Tak pernah aku menjadi lengkap di hadapan mereka. Tak pernah aku jadi subyek pembicaraan mereka. Aku hanyalah obyek penderita yang didahului berbagai macam kata kerja sebelum perhatian mereka jatuh padaku. Akulah yang termarjinalkan. Sesuatu yang marjinal tentunya takkan mengurangi derasnya gelombang laut atau kencangnya angin topan bila aku hilang ditelan bumi, menjadi nama di atas batu nisan. Ah, buat apa pula aku ingat-ingat lagi hidupku. Ia cuma memberikan perih padaku. Di hadapanku sekarang kematian telah membentangkan tangannya lebar-lebar dan siap memangku jiwaku, jiwa yang telah lama lebih dulu mati.

“Dhasar anak ndak tahu dhiuntung!” seruku di depan wajahnya. “Kamu kira uang sekolah itu ndak mahal apa? ADIIIL! Bhikin pusing aku aja kamu itu, Dil!” teriakku lagi sambil menjewer kuping Adil keras-keras. “Udah tho, Bu. Uwes tho. Ojo mbengak-bengok. Dhudu ngene carane. Uwes koyo ngene yo uwes, kowe mbengak-bengok yo Adil tetep ora munggah kelas,” sergah bapaknya. Aku menyahut, “Lha terus iki piye, Pak? Aku uwis kesel karo anakmu seng iki. Gawe nesu! Mbok kaya kakakmu itu lho, Dil. Ndhak pernah nyusahin orang tua.” Suasana rumah pada saat itu memang sudah tidak nggenah. Warungku sudah tidak selaku dulu karena banyaknya toko-toko swalayan yang dibuka di dekat rumah. Mereka berjualan dengan harga lebih murah dan barang yang lebih lengkap. Suamiku baru saja dipecat dari kelurahan, dituduh korupsi. Habis sudah sawah di kampung dijual untuk membiayai kuliah anak tertuaku yang belum juga lulus-lulus. Masih empat anakku yang membutuhkan biaya sekolah dan makan, dan yang satu ini tidak naik kelas. Kecewa aku dibuatnya. Sejak saat itu aku makin keras padanya. Aku keras karena aku sayang padanya. Seandainya aku tidak sekeras itu padanya dulu.

Aku bingung melihat adikku yang satu ini. Dia tidak seperti anak-anak lainnya, dia berbeda. Teman-teman sebayanya bermain di luar, sedangkan dia mengurung diri dalam kamar kami, asyik dengan gambar-gambarnya dan puisi-puisinya. “Puisi nggak bikin kaya, Dil. Main di luar sana sama teman-temanmu,” tegurku suatu ketika. “Aku mau jadi seperti Chairil Anwar, Mas,” sahutnya, “Dulu Chairil Anwar main sama teman-temannya tidak ya?” Aku tak bisa menjawabnya karena jujur saja aku tidak tahu. Lain waktu aku pernah bilang, “Seniman-seniman itu cuma orang gila, Dil. Mereka nggak punya kerjaan lain.” Dia tidak menghiraukan aku, entah dia dengar atau tidak. Sebenarnya aku kasihan padanya, selalu menjadi sasaran kemarahan ibuku, walau mungkin penyebab masalahnya bukan dia. Semakin besar dia semakin tertutup dengan anggota keluarga yang lain. Berbicara denganku pun hanya untuk memanggilku untuk makan atau membangunkan aku untuk sekolah. Ya, dia lebih rajin bangun pagi daripada kami saudara-saudaranya. Setiap pagi sebelum sekolah dia selalu bertengger di atap rumah. “Matahari itu indah ya, Mas? Sayang nggak banyak orang yang peduli sama keindahannya,” katanya padaku suatu kali. Aku tak mengerti apa yang dia bicarakan. Seandainya dulu aku lebih mendengarkan ricauannya.

Sudah banyak draft kumpulan puisi yang diajukannya ke penerbit. Tak ada satupun yang mendapat tanggapan. Pernah satu kali ada telpon dari salah satu penerbit, “Selamat siang, Pak Adil. Saya sudah menerima draft-draft karya bapak. Karya-karya bapak itu bagus sekali. Ada beberapa yang membuat saya tergugah saat membacanya. Tapi, mohon maaf, Pak, penerbitan tidak bisa menjual karya bapak. Walaupun bagus, tidak banyak yang berminat untuk membaca kumpulan-kumpulan puisi seperti yang bapak buat. Pembaca kita belum siap untuk membaca tulisan-tulisan demikian. Sekali lagi mohon maaf ya, Pak. Selamat siang.” Wajah suamiku yang sempat berbinar dan seolah-olah hidup kembali meredup dan kemudian padam. Sejak saat itu dia semakin menutup diri dari dunia luar. “Kamu tuh jangan mudah patah arang seperti itu donk. Kan masih banyak yang bisa kamu kerjain selain bikin puisi. Kerja apa kek? Kamu kan bisa minta tolong sama Mas Adi untuk diberi pekerjaan. Dia kan kakakmu, pasti dia mau bantu,” kataku di sela-sela makan malam. Dia tidak bicara apa-apa hanya langsung meninggalkan meja makan. Tak ada pertengkaran di rumah tangga kami. Tak ada keluh kesahku yang dia bantah. Tidak satupun. Dulu kami tidak begini. Dulu aku adalah matahari baginya. Dia bisa membicarakan semua khayalan-khayalannya padaku. Dia mengumbar mimpi-mimpinya. Tapi dia berhenti berbicara ketika tak ada mimpinya yang jadi nyata dan ketika aku berhenti mendengarkan. Jika saja dulu aku bisa menjadi inspirasinya hingga dia bisa menulis sesuatu yang bisa diakui orang. Pengakuan, hanya itu yang dia perlukan dan aku tak bisa memberikan itu padanya, Mas Adilku sayang.

Hutang. Bisakah seseorang hidup tanpa hutang? Semakin kaya seseorang semakin besar hutangnya. Tak lagi hutang sama tetangga, tapi hutang pada negara. Hutangku hanya sebatas pada saudara. Tapi sudah terlampau besar untuk dianggap hutang, hidupku dibiayai oleh kakakku, anak kebanggaan ibu bapakku. Keluarga kami menjadi kaya hanya karena dia. Tak ada anggota keluarga kami yang tidak kenal asuransi. Mulai dari harta benda, kesehatan, sampai kematian, semua diasuransikan. Hebat betul kakakku satu-satunya itu. Semua adik-adiknya dibiayai sekolah hingga sarjana, kecuali aku, dunia akademis bukan duniaku, alam adalah guruku. Ah, sudahlah. Hidup itu sudah berlalu. Kini kematian di hadapanku. Selangkah lagi maka sakit ini akan berakhir. Sudah kutinggalkan surat perpisahan bagi mereka para sumber rasa sakitku. Biar mereka tahu betapa mereka menyiksa aku, betapa mereka selalu memisahkan aku dari takdir langitku. Selamat tinggal dunia. Matahari, aku datang.

Angin kencang menerpa tubuhku seiring aku meluncur ke bawah. Cermin-cermin gedung memantulkan lesatan jatuhku, mungkin di dalamnya ada yang terkejut melihat sekelebatan tubuh melintas di depan mata mereka. Adrenalinku memuncak, memompa darah lebih kencang ke dalam otakku. Benar kata orang ketika seseorang mendekati kematian seluruh bayangan hidupnya akan berputar mundur dengan cepat. Keluh kesah istriku dan senyumannya yang sejuk seperti udara puncak di malam hari. Perintah-perintah kakakku dan teladannya yang tak pernah aku ikuti. Umbar kemarahan ibuku dan belaiannya yang lembut di wajahku. Wajah ayahku yang hangat namun jauh. Orang-orang ketakutan melihat aku meluncur turun di atas mereka. Oh, hidup, kenapa aku harus mati seperti ini? Ah, aspal hitam, kenapa kau begitu diam dan keras hingga mematikan?

Friday, June 5, 2009

Identitas Vs. Citra Diri

Bila anda memiliki hal lebih penting untuk dilakukan sebaiknya anda berhenti membaca dan arahkan pointer mouse anda ke simbol ‘X’ di sudut kanan atas layar monitor anda. Tulisan ini tidak lebih penting dari hal apapun itu yang seharusnya anda lakukan. Tulisan ini tidak akan memberikan anda hiburan. Tulisan ini tidak akan memberikan jawaban. Tulisan ini hanya sebuah racauan tengah malam. Tulisan ini hanya tulisan, tak perlu anda hiraukan. Saya beri anda kesempatan lima detik untuk berpikir dan menentukan apakah anda akan menutup tulisan ini atau terus membaca, mungkin anda akan menyesal bila anda teruskan membaca dan merasa telah membuang-buang waktu anda. Oke, saya hitung lima detik dari sekarang.

Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Lima.

Maaf, waktu anda sudah habis. Saatnya untuk anda memutuskan.

Selamat tinggal.

Oke, bagi anda yang masih bertahan di depan layar monitor, selamat datang. Mari kita mulai isi dari tulisan ini. Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya sedang berpikir apa yang akan saya tulis dan bisa dikaitkan dengan judul. Saya tak mau tulisan saya melantur kemana-mana dan tidak sesuai dengan judul yang saya tulis. Saya tak mau menjadi penulis yang asal tulis dan tidak menghargai kekuatan judul. Saya tak mau menulis sesuatu yang kemudian akan membuat anda merubah pikiran anda terhadap saya dan membentuk sebuah pencitraan diri yang tidak saya kehendaki. Saya tidak mau dilabeli sebagai penulis tidak berbakat. Saya tidak mau hal itu terjadi. Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya masih berpikir apa yang harus saya tulis dan tidak melenceng dari judul. Saya tak mau membuat tulisan yang hanya ‘begitu saja’. Saya mau tulisan saya menjadi mahakarya. Saya mau tulisan saya dibaca semua orang dan kemudian orang-orang itu berdecak kagum pada saya, pada ideologi saya, pada pemahaman saya pada sesuatu, pada kelebihan saya yang tidak dimiliki orang lain.

Tapi saya siapa? Apa bisa saya membuat tulisan demikian? Tulisan yang akan selalu dikenang orang; tulisan yang menjadi mahakarya seperti Monalisa bagi Da Vinci; tulisan yang disimpan di museum dan menjadi bahan diskusi kuliah atau lembaga pendidikan lainnya. Nanti dulu, apa saya pantas membuat tulisan? Apa saya pantas disebut sebagai penulis? Mana mungkin tulisan saya disimpan di museum, tulisan dalam bentuk elektronik tak pantas untuk dimuseumkan. Mungkin saja, bila ada museumnya. Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya masih belum tahu harus menulis apa. Saya sekarang bahkan tidak yakin untuk terus menulis tentang apa tadi? Oh iya, identitas versus citra diri.

Apa itu identitas? Sebenarnya saya tidak begitu menguasai subyek pembicaraan ini. Bagaimana mungkin saya berbicara tentang identitas bila saya sendiri tidak tahu siapa diri saya. Hal yang saya tahu tentang diri saya adalah hal yang diberitahukan oleh orang lain kepada saya mengenai saya. Apakah itu identitas saya? Apakah itu saya atau hanya pemaknaan orang terhadap saya atas pengamatan mereka? Bahkan saya sering bertanya kenapa saya diberi nama seperti nama saya sekarang. Apakah itu nama saya atau hanya pemberian label dari orang tua saya agar saya tidak tertukar dengan saudara-saudara kandung saya yang lain atau tertukar dengan anak tetangga? Saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang identitas. Sebaiknya biarkan KTP saja yang menentukan identitas saya. Toh, disitu sudah dijelaskan nama lengkap saya, jenis kelamin saya, tempat tinggal saya, agama saya, tempat dan tanggal lahir saya, bahkan golongan darah saya. Oh, tidak lupa status perkawinan. Tapi kadang saya tidak selalu merasa setua umur orang yang tanggal lahirnya tertoreh disitu. Terkadang saya tidak menjadi penganut agama yang baik. Terkadang saya tidak merasa menjadi bagian dari komunitas sosial dimana saya tinggal. Bahkan kadang saya tidak merasa memiliki kesamaan fitur wajah orang yang ada di foto KTP saya. Rambut saya sudah lebih pendek. Pipi saya sudah tidak terlalu tirus. Senyum saya bahkan lebih bagus. Mungkin yang tertera di KTP itu bukan saya. Lalu, saya siapa? Ah, seharusnya saya mengangkat topik yang lebih saya kuasai. Identitas itu sulit sekali untuk dipahami. Tunggu, tiba-tiba saya memiliki sebuah pertanyaan baru. Memangnya penting memiliki identitas sampai harus dibicarakan seperti ini? Dunia tampaknya akan lebih damai bila tak ada identitas. Tak akan ada gosip karena memang tak ada nama untuk dibicarakan. Tak akan ada perang karena tak ada lahan bernama yang harus diperebutkan. Tapi identitas bisa menjadi sebuah tolak ukur eksistensi saya. Dengan identitas itu saya bisa memiliki motivasi untuk membuktikan diri saya pada dunia. Identitas membuat saya unik, membuat saya merasa menjadi sesuatu karena menjadi bagian dari sesuatu.

Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya masih belum bisa memulai tulisan mengenai identitas dan citra diri ini. Sungguh-sungguh bingung. Hei, anda mau kemana? Jauhkan pointer mouse anda dari sudut kanan atas monitor. Anda sudah memilih untuk membaca. Jadi, sebaiknya anda selesaikan membaca tulisan ini. Saya tahu tulisan ini memang tidak bermutu, kan sudah saya peringatkan anda dari awal anda membaca tulisan ini. Labil sekali jiwa anda ini! Sekali ingin, sesaat kemudian tidak ingin. Tentukan pikiran anda.

Oke, maaf. Semestinya saya tidak menghakimi pilihan anda, saya khilaf. Saya beri anda waktu untuk menutup tulisan ini.

Silahkan ditutup.

Lho, tunggu apa lagi? Klik saja simbol X di situ. Dijamin anda takkan menyesal.



Kenapa belum ditutup? Masih mau teruskan membaca tulisan saya? Anda yakin? Tak akan berubah pendapat di tengah-tengah tulisan lagi? Baiklah.

Sampai mana tadi? Oh, iya, saya bingung mau menulis apa tentang identitas dan citra diri. Ah, lupakan saja identitas. Saya tidak mengerti harus membicarakan tentang apa dari identitas. Biarkan saja apa adanya, toh tak ada urusannya dengan saya. Langsung saja kita bahas tentang citra diri. Nah, bahasan ini saya bisa lebih mengerti.

Apa itu citra diri? Citra diri itu hanya sebuah omong kosong yang ditentukan oleh penerapan hegemoni yang berlaku pada suatu komunitas sosial dimana kebenaran ditentukan secara komunal.

Apa? Ya sudah, hanya itu jawaban dari saya. Anda mau lebih? Apa lagi memang yang bisa dibicarakan dari citra diri? Ya, memang jawaban saya terdengar dangkal. Jawaban saya sama saja omong kosongnya dengan citra diri.

Apa? Saya sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai citra diri. Ya, saya tahu anda saat ini sudah mencap saya bodoh karena saya tidak tahu apa-apa tentang apa yang saya tulis. Tapi setidaknya saya bukan pembohong. Daripada saya menulis panjang lebar dan membuang-buang waktu anda dengan berbicara tentang identitas dan citra diri padahal saya tidak tahu apa-apa. Nanti saya malah menjerumuskan anda ke sebuah jawaban palsu. Alih-alih anda nanti menggunakan tulisan saya untuk berdebat dengan seseorang mengenai identitas dan citra diri, padahal saya tak mengerti apa yang saya tulis.

Identitas dan citra diri terlalu sulit untuk dituangkan dalam kata-kata. Hal tersebut terlalu kompleks dan memiliki banyak sudut gelap penuh jebakan. Bila anda tak hati-hati melangkah, anda mungkin akan terjebak dalam identitas orang lain atau tenggelam dalam citra diri yang dipaksakan pada anda oleh lingkungan anda. Maka dari itu, saya tak bisa menuangkannya dalam kata-kata karena saya tak mau anda tersesat karena saya. Saya tak tahu apa yang saya bicarakan. Ah, saya menyesal telah mengetik judul tulisan ini. Maafkan saya, saya telah membuang-buang waktu anda.

Sebentar, tampaknya saya mendapat sedikit pencerahan.

"Wahai, anak-anakku, pandanglah dunia dengan kedua matamu. Kau diberikan dua agar kau punya pilihan untuk melihat, termasuk melihat pantulan dirimu dalam cermin dan dalam orang lain. Dirimu ditentukan oleh pilihan-pilihanmu, bukan oleh celoteh orang-orang di pasar. Hidupmu bisa kau genggam untuk kau remas dan hancurkan atau kau rengkuh untuk membasuh jiwamu. Wahai, anak-anakku, kau indah tak kurang satu apapun, jangan biarkan para pelancong membuat kau berpikir lain."

Wow, apa itu barusan? Ah, entahlah. Sudah terlalu malam dan saya sudah terlalu lelah.

Monday, April 20, 2009

Tuan

Di sebuah gudang tua yang sudah tak terpakai, seorang Amir tertunduk di sebuah kursi besi dengan tangan terikat ke belakang dan kaki terikat ke kaki-kaki kursi dalam keadaan telanjang. Temaram lampu gantung membentuk bayangan kepala di dadanya. Di hadapannya Mark berdiri sambil menggenggam kunci inggris di tangan kanannya. Lengan kemejanya disingsingkan. Tak jauh dari dia berdiri tergeletak jas hitam miliknya. Sarung pistolnya bertahta dengan gagah di pinggangnya, sebuah Desert Eagle 2.0 terlelap nyaman di dalamnya.

Mark: Dimana tuan lo?

Amir mendongakkan kepalanya dan tersenyum, kemudian tertawa.

Amir: Bego lo! Hahaha.

Mark mengayunkan kunci inggris ke dengkul kanan Amir. Amir meringis kesakitan tanpa kehilangan senyum di wajahnya.

Mark: Sekali lagi gw tanya, dimana tuan lo?

Amir: Bego lo! Hahahaha.

Kali ini Mark mengayunkan kunci inggris ke pelipis kiri Amir. Darah pun merembes dari pelipis amir dan mengaliri wajahnya.

Amir: Apa gunanya lo ngelakuin ini semua ke gw? Jawaban yang lo cari gak akan lo temukan dengan cara seperti ini. Bego lo!

Mark: Gw bego? Klo gw liat sekarang, bukan gw yang sedang terkulai telanjang di atas kursi besi. Bukan gw yang dikhianati oleh komplotannya. Bukan gw yang menebar teror di tengah-tengah masyarakat atas dasar fanatisme terhadap pemimpin fiktif yang gak pernah keliatan batang hidungnya.

Amir: Lo bego, karena lo gak sadar betapa samanya kita berdua. Lo bego karena lo gak sadar klo lo dikendalikan seperti boneka. Bego lo! Hahahaha.

Mark kembali mengayunkan kunci inggris ke pelipis kanan Amir. Darah pun semakin deras mengucur. Tawa Amir perlahan kehilangan suaranya seiring hilangnya kesadaran Amir.

Lima menit kemudian, Mark menyiram Amir dengan seember air. Amir sayup-sayup membuka matanya sambil menahan perih dari darah yang masuk ke matanya. Dia melihat Mark sedang berjongkok di hadapan kotak berwarna putih dan memegang dua buah kabel. Mark kemudian berdiri dan menghampiri Amir sambil memegang dua kabel itu, masing-masing satu di tiap tangannya.

Mark: Sudah mau bicara?

Amir menjawab pelan dalam keadaan setengah sadar.

Amir: Bicara apa? Menjawab pertanyaan goblok lo?

Mark menaruh salah satu ujung kabel di leher Amir dan satu lagi di selangkangan Amir. Tubuh Amir tersentak dan mengejang. Aliran listrik dalam tubuhnya memaksa Amir mengerang, menggerung, dan tergelak. Lima menit lamanya listrik 200 volt dari aki dialirkan ke tubuh Amir.
Mark melempar kedua kabel listrik ke lantai dan merogoh kantongnya. Dia mengeluarkan sebungkus rokok kretek dan mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya. Dia bersandar ke tembok di belakang Amir, menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghela napasnya dengan berat. Tangan kanannya yang memegang rokok memijat dahinya yang berkernyit.
Amir mulai berbicara pelan.

Amir: Lo bertanya sama gw dimana bos gw seolah-olah lo sendiri tau bos lo dimana. Jangankan dimana, siapa bos lo aja lo gak tau. Bego lo. Gw mungkin gak pernah bertemu dengan bos gw, tapi gw tau dia ada. Gw mungkin dikhianati oleh komplotan gw, tapi itu demi kepentingan yang lebih besar. Bila nyawa gw harus diserahkan untuk sebuah tujuan besar dan maha, gw rela, gw ikhlas.

Mark bergerak menjauh dari tembok tempat dia bersandar dan menghampiri Amir.

Mark: Gw tau tuan gw siapa. Gw tau dia ada dimana. Dia yang memerintahkan gw untuk berada disini sekarang di hadapan lo untuk mengungkap rencana besar tuan lo yang mengganggu ketenangan bangsa ini. Lo itu cuma bagian kecil dari sebuah proses pemusnahan bangsa ini, lo itu gak berharga buat tuan lo. Buat apa lo serahkan nyawa lo demi dia?

Amir: Lo yakin dia itu tuan lo? Gak ada tuan lagi di atas dia? Lo tuh cuma boneka buat tuan lo. Sama kaya gw. Sadar gak sih lo? Kita ini cuma bidak-bidak catur yang bisa dibuang kapan aja. Gw sadar tentang itu, makanya gw rela ketika gw ada di situasi seperti ini. Nyawa gw sekarang udah gak ada di tuan gw, tapi ada di tangan lo. Dalam sekejap mata gw bisa gak melek lagi. Dalam setarikan napas gw bisa gak bernapas lagi. Semua itu sekarang ada di tangan lo dan gw tau gw gak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup. Kita ini robot perebutan kekuasaan.

Mark: Stop! Lo gak menjawab pertanyaan gw. Omong kosong lo ini gak ada gunanya buat lo. Klo lo mau selamat, lo kasi gw informasi yang gw butuh. Gw ga butuh nasihat lo, jangan memperpendek umur lo dengan sok jadi guru buat gw. Gw tau gw mengabdi untuk siapa dan untuk apa. Bangsa ini perlu bidak-bidak seperti gw yang tak terlihat untuk menjaga ketentraman.

Amir: Ketentraman apa? Ketentraman itu cuma ilusi untuk memupuk rasa takut supaya penguasa tidak diganggu gugat. Lo sama pembunuhnya kaya gw. Lo sama pendosanya kaya gw. Lo sama tak bernilainya kaya gw. Yang membedakan kita cuma dalam kuasa siapa kita tunduk. Tujuan besar tuan-tuan kita tak berbeda busuknya. Pengabdian gw terhadap tuan gw bukan sebuah pengabdian buta, gak kaya lo. Lo menganggap diri lo bersih, suci, benar, dan melakukan tindakan heroik. Tidak ada yang heroik dalam menelanjangi orang kemudian menyiksa mereka. Bego lo!

Mark: Lo pintar bicara, Amir. Klo saja gw ga butuh informasi dari lo, udah gw potong lidah lo dari lima menit yang lalu. Lo kira gw melakukan ini semua dengan tanpa kesadaran? Yang bego itu lo. Terlalu naif untuk melihat bahwa bangsa ini terlalu kuat untuk lo musnahkan, karena bangsa ini punya tuan gw yang membelanya. Gw adalah pelindung bangsa ini. Dan segala macam cara untuk melindunginya akan gw lakukan, tindakan itu akan dibenarkan.

Amir: Oh, Mark. Siapa yang naif? Tujuan tuan-tuan kita sama, menguasai bangsa ini; memindahkan penentu nasib bangsa ini di bawah satu kuasa, dengan cara apapun. Teori pemusnahan yang lo bilang itu cuma sebuah propaganda tuan lo untuk menggaet para patriot bangsa ini dan menempatkan tuan gw sebagai seorang musuh.

Mark: Lo buta, Mir. Lo gak bisa ngebedain belalai gajah dari buntutnya. Lo udah terlalu banyak bicara dan lo membuang-buang waktu berharga gw.

Mark mengambil Desert Eagle 2.0 yang menggantung di pinggangnya. Dia menodongkan pucuk pistolnya ke dahi Amir. Amir memejamkan matanya, tersirat sedikit rasa takut dari gemetar tubuhnya.

Amir: Lo gak perlu melakukan ini, Mark. Kita bisa menggantikan tuan-tuan kita dan membuat bangsa ini hidup dalam damai, tak perlu lagi ada pertentangan. Kita sama pintarnya dengan tuan-tuan kita. Mereka tak berbeda dengan kita. Mereka juga dulu bidak-bidak seperti kita. Kita bisa membawa bangsa ini menjadi lebih baik bila kita bersatu.

Mark: Tidak, Amir. Bangsa ini tidak butuh pemimpin baru. Bangsa ini hanya butuh tuan gw. Dia yang akan membawa bangsa ini hidup dalam damai. Lo terlalu banyak berbicara, Amir. Cobalah menjawab pertanyaan tanpa basa-basi saat di neraka nanti.

Mark menarik pelatuk pistolnya. Darah dari kepala Amir muncrat ke wajahnya. Amir terkulai tanpa nyawa. Suara telepon seluler Mark memecahkan keheningan setelah suara letupan pistol menyerap segala suara kehidupan dalam gudang itu. Mark merogoh kantong celananya dan menjawab telponnya.

Mark: Ya, Tuan. Target tidak menyediakan informasi yang kita perlukan dan sudah dimusnahkan. Baik, Tuan. Segera meluncur kesana.

Mark menutup telpon dan memasukkannya kembali ke kantong. Wajahnya pucat kosong menatap Amir yang sudah terbujur kaku. Dia mengambil jerigen berisi bensin dan menyiramkannya ke sekujur tubuh Amir. Dia mengeluarkan bungkus rokok dan menyulut satu batang kemudian menghisapnya.

Mark: Maaf, Amir. Pengorbanan lo harus sia-sia. Kami sudah menemukan lokasi tuan lo. Mungkin kita akan bertemu di kehidupan selanjutnya dan bertemu tidak dalam situasi seperti ini. Mungkin saat itu, kita bisa berteman. Klo saja kita tidak berdiri berlawanan arah, kita bisa menjadi sahabat sehati.

Mark menyalakan korek dan menyulut tubuh Amir. Dia mengambil jasnya yang tergeletak tak jauh dari tubuh Amir yang berkobar. Dia berjalan ke arah pintu besi gudang itu, mematikan lampu gudang, membuka pintu, menengok ke belakang untuk melihat kobaran tubuh Amir, kemudian menutup pintu gudang dari luar.

Sunday, April 5, 2009

Rasakan Dengan Tanganmu

Halleluyah! Angkat tangan kalian tinggi-tinggi dan teriakan dengan segenap hati. Halleluyah! Tau gak artinya apa? Halleluyah itu klo ga salah artinya syukur kepada Allah deh. Bener gak tuh? Hahaha. Ngomong-ngomong nih, gw mau berbagi kesaksian tentang besarnya cinta Allah terhadap anak-anaknya. Hehehe. *Tumben, nyet.* Udah deh, baca aja.
Jadi begini ceritanya. Gw bangun di minggu siang yang cerah dan indah. Tapi keindahan itu rusak ketika gw menyadari dompet gw tidak dalam jangkauan mata gw. OMG! Panik, bingung, dan marah langsung campur aduk dalam perasaan gw. Panik karena semua duit gw, kartu atm, KTP, KTM, dan ketebelece lainnya ada di dalam dompet gw. Bingung karena gw ga mau terima kalau gw harus mengulangi prosedur pembuatan segala tetek bengek yang terdapat dalam dompet gw. Marah karena dompet yang tidak dalam penglihatan ini merupakan dompet kesayangan gw dan karena ada foto Dewi Persik lagi pegang dada gw dalam dompet itu.
Perasaan campur aduk ini pun mengakibatkan pada pencarian yang membabi buta. Kasur di kamar menjadi korban kemarahan. Kasur di kamar gw kudeta, gw gulingkan dari singgasananya. Dompet tetep tidak ada. Isi rumah gw acak-acak tapi langsung gw beresin lagi, takut diomelin nyokap. Hehehe. Dompet tetek tidak ada. Eh, tetep tidak ada. Akhirnya gw memutuskan untuk menenangkan diri dengan mengurus pekerjaan yang harus gw lakukan dulu dan berharap kepala menjadi dingin dan lebih mudah mencari dompet kesayangan gw.
Gw udah ngalor ngidul kesana kemari ke utara barat timur selatan buat ngurus pekerjaan gw dan mendinginkan kepala. Lalu kembalilah gw di rumah, lokasi dimana gw yakin dengan amat sangat menjadi tersangka dalam penyembunyian dompet gw. Rasa campur aduk itu kembali menyerang. OMG!
Gw pun mewawancara seluruh anggota keluarga gw dan semua orang yang saya temui di hari itu. Bahkan nenek lagi ngemis gw tanyain dompet gw. Bagai detektif dan anjing pelacak yang mengendus-ngendus keberadaan dompet atau kemungkinan adanya terjadi tindak kejahilan di dalam rumah dan sekitarnya, gw terus mencari tanpa lelah dan penuh amarah. Tapi sampai matahari terbenam dan langit mulai gelap, keberadaan dompet gw masih dipertanyakan. Akhirnya, seperti layaknya bayi yang kehilangan kenyotannnya, gw menangis, meraung, memaki, dan mencaci. Saking keselnya ampe Tuhana aja gw maki-maki. *Siapa tuh Tuhana?* Oh iye, Tuhan maksud gw. Hehehe. Gw pun datang berkunjung ke psikolog terbaik di dunia, emak gw. Gw curhat mengenai ketakutan gw dalam mendatangi kantor polisi untuk bikin surat kehilangan, kerepotan dalam ngurus atm di bank yang prosedurnya jelimet. Psikolog gw bilang, "Hmmm, tampaknya kamu terlalu banyak hal yang dipikirkan sampai akhirnya tidak bisa berpikir." Sebuah ungkapan halus untuk menyatakan BEGO LO! Ya, saya memang bodoh. Akhirnya saya menyerahkan diri kepada keadaan yang memaksa saya untuk berkunjung untuk ketiga kalinya ke kantor Sersan Joko dan memohon padanya memberikan ampun pada saya atas kebodohan saya dan memberikan saya surat keterangan hilang. Saya pun dengan langkah layu dan tertatih berjalan ke kamar saya dan dengan penuh harapan meraba-raba celana saya yang digantung di belakang pintu agar dia terangsang dan mengaku bahwa dia menyembunyikan dompet saya. Ketika dalam proses perabaan itu, saya pun merasakan ada bagian dari celana yang memiliki tekstur berbeda dari celana-celana lainnya di dunia. Celana gw ini memiliki bagian yang keras. Gw langsung berpikir, "Jangan-jangan celana gw beneran terangsang nih, dasar murahan." Tapi ketika insting detektif gw keluar lagi dan berusaha meraba lebih kencang dengan harapan celana gw berbicara, sebuah hipotesa jenius yang belum tentu terpikirkan oleh semua orang muncul di kepala gw. Jangan-jangan dompet gw ada di celana gw yang semalem gw pake pergi semalem sama temen gw, yang juga telah diinterogasi berikut mobilnya. Lima menit kemudian setelah saya berpikir keras dan tangan saya masih merogoh celana, saya merasakan ada kulit yang saya sentuh. Kemudian kulit itu saya raba-raba lagi untuk memastikan bentuk dan bahannya. Tapi sayang sekali dalam kepala saya tidak muncul sebuah imej yang sesuai dengan dompet saya, yang terbayang kulit-kulit lainnya. hehehe. Akhirnya, gw nyerah sama logika gw dan melakukan tindak kekerasan. Gw tarik paksa benda kulit itu dari celana gw. DOMPET GW! HALLELUYAH! HALLELUYAH!
Jadi, my lesson of the day is cari yang bener, jangan pake ngomel, sabar, dan jangan nyalahin Tuhan. Toh yang salah juga gw yang terlalu bego untuk inget tempat terakhir gw naro dompet gw. So, friends, love your wallet like you love yourself like you love GOD. Peace out!

Saturday, March 21, 2009

Ketidakmustahilan Perdamaian Dunia

Bila kalian adalah pencari jawaban dan selalu bertanya ‘kenapa?’ atas segala hal yang terjadi di dunia ini, kalian mungkin ingin membaca tulisan ini. Pada tulisan ini saya akan berusaha menjabarkan sedikit tentang bagaimana mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan pengetahuan saya yang terbatas. Tulisan ini akan memakan waktu beberapa lama untuk membacanya, jadi posisikan diri kalian senyaman mungkin untuk membaca tulisan ini. Here we go.


Seberapa sering kalian mendengar teori konspirasi dan bagaimana konspirasi itu mewakili pihak-pihak tertentu demi keuntungan mereka dengan mengatur dunia dan membuat banyak orang menderita? Saya berani menyatakan bahwa konspirasi dunia itu memang ada, namun tak ada pihak-pihak tertentu yang sewajarnya disalahkan. Bentuk konspirasi dunia yang ada itu semata-mata merupakan sebuah siklus semesta yang merupakan bagian sub-atom dari ‘higher being’.


Banyak dari kalian telah mendengar teori atom, struktur DNA, dan gen yang dimiliki oleh setiap makhluk kasat mata di dunia ini. Tapi mungkin tidak semua dari kalian menyadari bahwa hal-hal tersebut merupakan faktor utama mengapa kita menangkap dunia yang kita lihat, dengar, cium, dan rasakan sebagai kenyataan. Berdasarkan informasi dari narasumber yang tidak bersedia untuk diungkap identitasnya, bila partikel-partikel atom yang membentuk wujud kasat indera ditelaah hingga ke bagian terkecilnya maka akan terungkap bahwa dalam atom itu tidak terdapat zat apapun atau hampa.


Dengan demikian, saya berani menyatakan bahwa kesadaran kitalah yang membentuk kenyataan. Kita sendiri yang membentuk dunia ini. Kita sendiri yang menentukan arah langkah kaki kita, lain tidak. Kesadaran itulah yang menyatukan kita, sehingga kita berinteraksi dengan alam sekitar kita. Kesadaran itulah yang membuat kita dan segala isi dunia memiliki suatu hubungan. Kesadaran sejati itulah yang berusaha diungkapkan dalam kitab-kitab agama-agama kuno dan kemudian diberikan label ‘Tuhan’ oleh agama-agama monoteistik.


Namun, lambat laun, kesejatian dari pesan-pesan spiritual itu terdistorsi oleh tembok-tembok ilusi yang diciptakan manusia dan diteruskan turun temurun hingga akhirnya manusia melupakan bentuk sejatinya. Bentuk kealpaan itu bisa kita lihat dari pengabaian kita akan kemampuan sejati manusia bergantung pada benda-benda non-alami. Sejatinya manusia tidak memerlukan perantara apapun untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya, bahkan tidak dengan menggunakan bahasa. Namun, pada saat ini manusia seolah-seolah kehilangan anggota tubuhnya ketika telepon seluler mereka rusak, hilang, tertinggal, atau terlupakan. Manusia seolah-olah lumpuh sendi-sendinya jika tak dapat menemukan angkutan umum, kendaraan pribadi, atau bentuk fasilitas transportasi lainnya. Bentuk kemanjaan ini yang akhirnya menjauhkan manusia dari bentuk manusia sejati lainnya.


Dalam kitab suci agama monoteistik, yang saya anggap sebagai buku sejarah tertua manusia, terdapat kisah mengenai menara Babel. Kisah tersebut bercerita tentang pada dasarnya manusia tidak memerlukan bahasa untuk berkomunikasi. Faktor tersebut membuat manusia sombong. Kesombongan manusia dapat terlihat dan dalam usaha mereka mendirikan menara tinggi untuk mengungguli langit. Karena kesombongan ini merupakan hal yang tidak sewajarnya dimiliki manusia, kesadaran tertinggi kemudian menyadari hal ini. Sebagai bentuk introspeksi kesadaran, bahasa menjadi dibutuhkan untuk membatasi manusia dalam berkomunikasi agar tidak menyamakan persepsi dan kemudian menjadi sombong. Penyadaran bahwa kesombongan sebagai ketidakwajaran karena dengan adanya kesombongan maka akan menghilangkan sifat rela yang sejatinya dimiliki manusia. Dampak yang timbul akan usaha peniadaan kesombongan komunal ini justru berubah menjadi penyombongan diri. Dari sinilah timbul rasa iri, dengki, marah, serakah, dan kebutuhan akan kuasa.


Pada era ini kesadaran tertinggi sedang berada pada fase keterbuaian terhadap duniawi. Manusia sebagai bagian dari kesadaran tertinggi sudah sewajibnya kembali memiliki kesadaran atas hidup yang mereka jalani. Sebuah pencarian jati diri ini harus dijalani untuk mengenal diri manusia dan kembali pada tingkat kesadaran tertinggi. Sebuah pencarian tidak dapat dilakukan tanpa mempertanyakan segala sesuatu sebelumnya. Dengan demikian, seorang manusia sewajarnya melawan dirinya sendiri akan segala sesuatu yang menghalangi dirinya menjadi bentuk manusia sejati. Bentuk perlawanan itu akan membawa diri manusia pada keadaan lelah melawan dan akhirnya menemukan bahwa suatu pencarian atau tujuan tidak memerlukan adanya perlawanan namun cukup dengan menjalani kerelaan dan mengganti sudut pandang terhadap kehidupan. Kerelaan ini yang akan membawa manusia menuju perdamaian. Namun perdamaian itu tidak akan dengan begitu saja terwujud, sebuah perwujudan duniawi akan kerelaan diperlukan. Dengan kata lain, sebuah tindakan nyata akan kerelaan harus dilakukan. Tindakan nyata ini akan menjadi contoh bagi manusia-manusia lainnya. Sehingga penetapan sikap yang mencerminkan kerelaan akan segala sesuatu dapat sejatinya tercapai di seluruh dunia. Tapi, apa itu rela?


Rela akan sulit ditemukan dalam keadaan yang membenci diri sendiri. Untuk itu, belajar mencintai pun menjadi penting. Kecintaan manusia akan menyilaukan matanya sehingga diperlukan usaha untuk belajar mengatasinya. Pada tahap ini kerelaan akan ditemukan dan kemudian membawa kita pada kesadaran tertinggi. Namun, apa yang kita tahu tentang cinta?


Tulisan ini tidak akan memberikan kalian sebuah jawaban akan sesuatu. Ini hanya sebuah pemicu bagi kalian untuk mulai mempertanyakan dan memulai perjalanan spiritual untuk menemukan jati diri kalian dan memahami peran kalian di dunia. Sebuah tips dari saya, ketika kalian sudah menemukan yang kalian cari, relakan saja. Ya sudahlah. Sepele.

Saturday, February 14, 2009

Note for Self: an Unplanned Day Can be a Pleasant One

Fourteenth of February is commonly known as St. Valentine's Day. It is the day of love celebration, especially for couples. Well, you know that already, don't you? I'm not the kinda guy who plans a series of romantic event 3-4 months before d-day. I just go with the flow. You feel me, mo-fo?

On this year's val's day, I didn't plan any super duper specially romantic thingy with my boo. Shit, did I just use the term 'boo' as a substitute for girlfriend? Well, what the heck, there's always first time for everything. Okay, back to the f-ing subject. So, I didn't plan anything for this special day. I started my day at 12 pm. Yep, I'm not a morning guy. So, don't like that? You can click that red 'x' mark on the top right of the screen if you want to, a-hole! So I woke up and asked my self, "Hmm, what should I do on this lovely day full of love?" My mind speaks again on my behalf, "Well, a 'gurah' would be nice." It was my stupidest decision of the day, but not for long term engagement. It turned out that 'gurah' is very painful during and after the process. WHAT? You don't know what 'gurah' is? What are you? Some kind of a new breed of brain disintegration fucked up experiment lab rat? 'Gurah' is an alternative medication to get rid of slimy stuff from your respiratory organs. The 'gurah' man scoops some kind of icky liquid into your nose. Then you sit with head on your knees and wait for a long one shitty hour to let all the slime gets out from your body through your nose and mouth. While you wait, you'll feel a simultaneous brain freeze. After the process is done, you'll have a very bad headache. Headache is bad, imagine a very bad one. Yep, that's it. The aftereffect will last for at least 6-12 hours after the medication.

I went to the 'gurah' place using public transportation, alone. So there I was, after the medication, sat with a bad headache on a public transportation going back home. I laid my head on my bed as soon as I get home, it was 3 pm. I slept for about two hours. Then my lovely girlfriend, who suggests me to do 'gurah', I hated her for that, arrived and awake me from my zombie sleep. My best friend gave her a ride to my house. My mood was as bad as a bad mood can be. But, when I saw her smile, I remembered that it was Valentine’s Day. Love was in the air, but the 'gurah' pain still lingered. So, we talked, laughed, and helped my mom preparing party dishes for the opening of my mom's new distribution depot. After my mom left the house, we kissed and... . Hahaha. Enhance your imagination, my friend. So, you know, we did our stuff. Yuck, dude, not that kinda stuff. Wow, your mind need to be cleaned and cleansed. Then, we moved to my room and took a nap, a real nap. No, we didn't do that. Come on! I'm being honest here. Appreciate me a little, show some respect, FRIEND.

Then we woke up at 8 pm. Long story short, we went to Cilandak Town Square and bought a couple of beers and some snacks. Oh, my aunt and uncle accidentally met us and drive us there, lucky us. So, we sat on a small park at the parking lot. Again, we talked, laughed, and talked. It was not fun, it was blissful. It was a moment to remember. The green grass, the abstract shape of the trees, the dim lights of the lot, the black cloudy sky, the cool breeze of the wind, the chat, and us was perfect. We sat there for three hours. Oh, how I love her… Wait, you don’t envy me for that? What the funk? You should envy me! That is why I wrote this shit! Well, what the heck, I don’t give a rat’s ass.

So, when we thought things couldn’t be better, her father called and told us that he was at the same place and asked us to have a late dinner. Free rides, free dinner, envy me now? Then, after we filled our gas tanks, her dad offered us whether to have a cup of coffee or not. Well, what do you expect? Who can reject an offer like that, a cup of hot coffee in the rare coldness of Jakarta weather? So, chit chat pop dooby doob woop woop, 2.30 am. It’s time to go home. I said goodbye to Ninda. WHO’S NINDA??? She’s the girlfriend I’ve been talking about, you fool! Oh, I haven’t told you her name, huh? Hahaha. My bad. Well, her name is Ninda. So, I said goodbye with a little kiss on her forehead. I wanted to give more, but her father was standing five six feet from us. I didn’t want to give a bad image. Hahaha. That was my unplanned pleasant day.

Note for you:

live an unplanned day once in a while and enjoy anything comes at your doorstep on that day.

Sunday, February 1, 2009

Perjaka dan Perawan Jatuh Cinta, Celaka

Hehehe. Lucu gak judulnya? Menarik gak? Gak ya? Yakin lo? Gw bertapa dulu tuh 3 hari 5 malem untuk dapet judul itu. Ah tai nih.....
Jadi males gw nulis blognya, lo kaya tai sih... Judulnya seru banget gitu, intriguing. Telek, sampeyan.

Friday, January 30, 2009

Dengan Senar Gitar dan Pita Suara

Huaaaa.....Hehehehe. Ga penting banget deh gw teriak. Gw lagi excited nih karena tanggal 6 Februari gw bakal manggung sama band gw yang bernama BEDROOM. Hahaha. Gw bakal manggung di Oenpao di daerah Kemang deket De La Rosa. Ini adalah gig kedua gw sama Bedroom, yang pertama di Spazio PIM II. Kali ini gw manggung dengan format akustik dan bertigaan aja, tanpa drummer, karena mang blom punya drummer. Hehehe.

Mudah-mudahan gw bakal sering dapet gig. Jadi jalan gw di dunia musik semakin jelas terlihat. Hahahaha. Sebenernya gw gatau sih mau nulis apa, tapi secara gada yang baca juga gw jadi ga peduli. Yang penting jari gw ga nganggur aja.

Seminggu terakhir ini bisa dibilang flow musik gw lagi jalan banget. Hal apapun bisa dijadiin lirik lagu, sayangnya, karena kemampuan bermain gitar gw yang terbatas, ga semuanya bisa dijadiin lagu. Beberapa baru jadi coretan di atas kertas. Mudah-mudahan besok gw bisa jadiin lagu, karena besok gw mau ketemu sama band gw yang satu lagi, APILANGIT. Beuh, puitis banget ga tuh nama bandnya? Hahaha. Setelah kemaren sempet ribut sama gitaris gw karena ketidakcocokan kita berdua, kita baikan dan berencana untuk bikin lagu bareng. Hehehe.

Gw mau jadi orang besar melalui musik. Gw mau bikin musik yang berpengaruh. Gw mau jadi legenda. Sekarang gw lagi meniti jalan menuju hal itu semua, apapun yang ada di hadapan gw bakal gw terjang. Gak akan ada yang bisa menghadang. Gw akan berlari seperti angin topan yang mencari panas. Gw akan melaju seperti kuda liar di hamparan sabana. Ada yang ga setuju sama cita-cita gw? Mati aja lo semua.