Friday, June 5, 2009

Identitas Vs. Citra Diri

Bila anda memiliki hal lebih penting untuk dilakukan sebaiknya anda berhenti membaca dan arahkan pointer mouse anda ke simbol ‘X’ di sudut kanan atas layar monitor anda. Tulisan ini tidak lebih penting dari hal apapun itu yang seharusnya anda lakukan. Tulisan ini tidak akan memberikan anda hiburan. Tulisan ini tidak akan memberikan jawaban. Tulisan ini hanya sebuah racauan tengah malam. Tulisan ini hanya tulisan, tak perlu anda hiraukan. Saya beri anda kesempatan lima detik untuk berpikir dan menentukan apakah anda akan menutup tulisan ini atau terus membaca, mungkin anda akan menyesal bila anda teruskan membaca dan merasa telah membuang-buang waktu anda. Oke, saya hitung lima detik dari sekarang.

Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Lima.

Maaf, waktu anda sudah habis. Saatnya untuk anda memutuskan.

Selamat tinggal.

Oke, bagi anda yang masih bertahan di depan layar monitor, selamat datang. Mari kita mulai isi dari tulisan ini. Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya sedang berpikir apa yang akan saya tulis dan bisa dikaitkan dengan judul. Saya tak mau tulisan saya melantur kemana-mana dan tidak sesuai dengan judul yang saya tulis. Saya tak mau menjadi penulis yang asal tulis dan tidak menghargai kekuatan judul. Saya tak mau menulis sesuatu yang kemudian akan membuat anda merubah pikiran anda terhadap saya dan membentuk sebuah pencitraan diri yang tidak saya kehendaki. Saya tidak mau dilabeli sebagai penulis tidak berbakat. Saya tidak mau hal itu terjadi. Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya masih berpikir apa yang harus saya tulis dan tidak melenceng dari judul. Saya tak mau membuat tulisan yang hanya ‘begitu saja’. Saya mau tulisan saya menjadi mahakarya. Saya mau tulisan saya dibaca semua orang dan kemudian orang-orang itu berdecak kagum pada saya, pada ideologi saya, pada pemahaman saya pada sesuatu, pada kelebihan saya yang tidak dimiliki orang lain.

Tapi saya siapa? Apa bisa saya membuat tulisan demikian? Tulisan yang akan selalu dikenang orang; tulisan yang menjadi mahakarya seperti Monalisa bagi Da Vinci; tulisan yang disimpan di museum dan menjadi bahan diskusi kuliah atau lembaga pendidikan lainnya. Nanti dulu, apa saya pantas membuat tulisan? Apa saya pantas disebut sebagai penulis? Mana mungkin tulisan saya disimpan di museum, tulisan dalam bentuk elektronik tak pantas untuk dimuseumkan. Mungkin saja, bila ada museumnya. Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya masih belum tahu harus menulis apa. Saya sekarang bahkan tidak yakin untuk terus menulis tentang apa tadi? Oh iya, identitas versus citra diri.

Apa itu identitas? Sebenarnya saya tidak begitu menguasai subyek pembicaraan ini. Bagaimana mungkin saya berbicara tentang identitas bila saya sendiri tidak tahu siapa diri saya. Hal yang saya tahu tentang diri saya adalah hal yang diberitahukan oleh orang lain kepada saya mengenai saya. Apakah itu identitas saya? Apakah itu saya atau hanya pemaknaan orang terhadap saya atas pengamatan mereka? Bahkan saya sering bertanya kenapa saya diberi nama seperti nama saya sekarang. Apakah itu nama saya atau hanya pemberian label dari orang tua saya agar saya tidak tertukar dengan saudara-saudara kandung saya yang lain atau tertukar dengan anak tetangga? Saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang identitas. Sebaiknya biarkan KTP saja yang menentukan identitas saya. Toh, disitu sudah dijelaskan nama lengkap saya, jenis kelamin saya, tempat tinggal saya, agama saya, tempat dan tanggal lahir saya, bahkan golongan darah saya. Oh, tidak lupa status perkawinan. Tapi kadang saya tidak selalu merasa setua umur orang yang tanggal lahirnya tertoreh disitu. Terkadang saya tidak menjadi penganut agama yang baik. Terkadang saya tidak merasa menjadi bagian dari komunitas sosial dimana saya tinggal. Bahkan kadang saya tidak merasa memiliki kesamaan fitur wajah orang yang ada di foto KTP saya. Rambut saya sudah lebih pendek. Pipi saya sudah tidak terlalu tirus. Senyum saya bahkan lebih bagus. Mungkin yang tertera di KTP itu bukan saya. Lalu, saya siapa? Ah, seharusnya saya mengangkat topik yang lebih saya kuasai. Identitas itu sulit sekali untuk dipahami. Tunggu, tiba-tiba saya memiliki sebuah pertanyaan baru. Memangnya penting memiliki identitas sampai harus dibicarakan seperti ini? Dunia tampaknya akan lebih damai bila tak ada identitas. Tak akan ada gosip karena memang tak ada nama untuk dibicarakan. Tak akan ada perang karena tak ada lahan bernama yang harus diperebutkan. Tapi identitas bisa menjadi sebuah tolak ukur eksistensi saya. Dengan identitas itu saya bisa memiliki motivasi untuk membuktikan diri saya pada dunia. Identitas membuat saya unik, membuat saya merasa menjadi sesuatu karena menjadi bagian dari sesuatu.

Tunggu. Sebentar. Sabar. Saya masih belum bisa memulai tulisan mengenai identitas dan citra diri ini. Sungguh-sungguh bingung. Hei, anda mau kemana? Jauhkan pointer mouse anda dari sudut kanan atas monitor. Anda sudah memilih untuk membaca. Jadi, sebaiknya anda selesaikan membaca tulisan ini. Saya tahu tulisan ini memang tidak bermutu, kan sudah saya peringatkan anda dari awal anda membaca tulisan ini. Labil sekali jiwa anda ini! Sekali ingin, sesaat kemudian tidak ingin. Tentukan pikiran anda.

Oke, maaf. Semestinya saya tidak menghakimi pilihan anda, saya khilaf. Saya beri anda waktu untuk menutup tulisan ini.

Silahkan ditutup.

Lho, tunggu apa lagi? Klik saja simbol X di situ. Dijamin anda takkan menyesal.



Kenapa belum ditutup? Masih mau teruskan membaca tulisan saya? Anda yakin? Tak akan berubah pendapat di tengah-tengah tulisan lagi? Baiklah.

Sampai mana tadi? Oh, iya, saya bingung mau menulis apa tentang identitas dan citra diri. Ah, lupakan saja identitas. Saya tidak mengerti harus membicarakan tentang apa dari identitas. Biarkan saja apa adanya, toh tak ada urusannya dengan saya. Langsung saja kita bahas tentang citra diri. Nah, bahasan ini saya bisa lebih mengerti.

Apa itu citra diri? Citra diri itu hanya sebuah omong kosong yang ditentukan oleh penerapan hegemoni yang berlaku pada suatu komunitas sosial dimana kebenaran ditentukan secara komunal.

Apa? Ya sudah, hanya itu jawaban dari saya. Anda mau lebih? Apa lagi memang yang bisa dibicarakan dari citra diri? Ya, memang jawaban saya terdengar dangkal. Jawaban saya sama saja omong kosongnya dengan citra diri.

Apa? Saya sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai citra diri. Ya, saya tahu anda saat ini sudah mencap saya bodoh karena saya tidak tahu apa-apa tentang apa yang saya tulis. Tapi setidaknya saya bukan pembohong. Daripada saya menulis panjang lebar dan membuang-buang waktu anda dengan berbicara tentang identitas dan citra diri padahal saya tidak tahu apa-apa. Nanti saya malah menjerumuskan anda ke sebuah jawaban palsu. Alih-alih anda nanti menggunakan tulisan saya untuk berdebat dengan seseorang mengenai identitas dan citra diri, padahal saya tak mengerti apa yang saya tulis.

Identitas dan citra diri terlalu sulit untuk dituangkan dalam kata-kata. Hal tersebut terlalu kompleks dan memiliki banyak sudut gelap penuh jebakan. Bila anda tak hati-hati melangkah, anda mungkin akan terjebak dalam identitas orang lain atau tenggelam dalam citra diri yang dipaksakan pada anda oleh lingkungan anda. Maka dari itu, saya tak bisa menuangkannya dalam kata-kata karena saya tak mau anda tersesat karena saya. Saya tak tahu apa yang saya bicarakan. Ah, saya menyesal telah mengetik judul tulisan ini. Maafkan saya, saya telah membuang-buang waktu anda.

Sebentar, tampaknya saya mendapat sedikit pencerahan.

"Wahai, anak-anakku, pandanglah dunia dengan kedua matamu. Kau diberikan dua agar kau punya pilihan untuk melihat, termasuk melihat pantulan dirimu dalam cermin dan dalam orang lain. Dirimu ditentukan oleh pilihan-pilihanmu, bukan oleh celoteh orang-orang di pasar. Hidupmu bisa kau genggam untuk kau remas dan hancurkan atau kau rengkuh untuk membasuh jiwamu. Wahai, anak-anakku, kau indah tak kurang satu apapun, jangan biarkan para pelancong membuat kau berpikir lain."

Wow, apa itu barusan? Ah, entahlah. Sudah terlalu malam dan saya sudah terlalu lelah.