Sunday, March 11, 2007

Kucium Dia
Cerita Pendek Oleh A.P. Devindra

Dia sebenarnya orang yang cukup baik. Seorang atlit berotak encer dan anak pejabat. Impian tiap wanita. Walaupun mungkin tampangnya masih satu poin di bawah aku, dia cukup baik. Cukup baik menjadi pengganti seorang Alif di hati seorang Avil. Namanya Esa. Tapi aku benci dia karena mengisi hati Avil dengan orang selain aku.
Aku. Apa kurangnya aku? Aku tampan, romantis, perhatian, humoris dan cinta setengah mati dengannya. Berpuluh puisi kurangkai deminya, Beratus memori kutuai bersamanya, beribu jam kuhabiskan bersamanya, berjuta rupiah kuhabiskan menyenangkan hatinya. Aku hal terbaik yang seorang Avil bisa dapatkan, setidaknya aku berpikir begitu. Kenapa dia memilih Esa?
Mungkin, karena dia bergelar sarjana dan aku masih berstatus mahasiswa. Bukankah status mahasiswa lebih tinggi daripada sarjana? Karena hanya ada dua maha di dunia ini, yaitu Tuhan Yang Maha Tunggal dan mahasiswa. Atau mungkin karena aku mencium Dia.

Aku bertemu Dia di Aishiteru, klub bergaya japanese retro pengusung tren genre electro groove kepada masyarakat Bandung.
“Hai!” sapa hangat di tengah dentuman bass dan kebisingan suara efek elektronik,
“Aku Dia. aku liatin kamu dari tadi, tapi kamu diem aja. Payah, ga peka liat cewe cantik.”.
“Hah?” kebingunganku mendengar perkenalan ‘aku dia’ dan kericuhan tempat yang penuh membuatku hanya mendengar ‘aku dia...cewe cantik’,
“Maaf, kamu bilang apa? Aku ga denger?” sahutku lagi. Dengan muka sedikit kesal dia teriak,
“Aku Dia. Aku liatin kamu dari tadi, tapi kamu diem aja!”.
“Ooh, aku Alif.” jawabku setengah tidak peduli. Aku kesini untuk nikmatin suasana, tak ingin cari wanita, karena aku sudah punya. Dia menatapku. Cukup lama Dia menatapku. Dia teriak lagi,
“Udah? Gitu aja?”. Aku tatap dia lagi. Kali ini kulihat dia dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Bagus juga nih, Lif. Lumayan, sekedar buat temen joget.”, pikiranku mulai berkhianat. Kuperhatikan lagi wajahnya. Wajahnya khas orang timur, cantik, putih, hanya saja matanya melotot kemerahan dan mengunyah permen karet dengan gamblang, sebuah pemandangan yang cukup mengganggu mata malam.
“Dia lagi kenceng, Lif. Udah, sikat aja!” pikiranku teruskan penghianatannya.
“Kok tangannya kosong aja? Aku beliin minum ya?” jawabku dengan khayalan lelaki haus belaian.
“Mau donk!” Dia menjawab dengan antusias.
“Kalo gitu kita ke bar aja yuk?” sahut Alif, lelaki bernafsu. Dia tarik tanganku seperti ingin lari estafet.

Gelas demi gelas kami tengguk. Lagu demi lagi kami dansakan. Kepalaku mulai berat. Kakiku tambah ringan. Aku berusaha mencari pijakan. Dia memegang tanganku, memberikan topangan. Dia memelukku, memberikan dukungan. Dia mengarahkan wajahku ke wajahnya. Dia tatap mataku dalam-dalam. Dahinya menyentuh dahiku. Hidungnya bersandar di hidungku. Dia menciumku. Bibir kami bertautan. Lidah kami berdansa. Sebuah sensasi tanpa ekstasi. Aku cium dia. Aku cium Dia.

“Enak ga, Lif?” getar wanita yang dikhianati.
“Maafin aku, Vil. Aku ngelakuin itu semua pas lagi ga sadar. Aku uda minum banyak banget. Aku aja tau ciuman sama cewe itu setelah dikasi tau temen-temenku. Aku bener-bener ga sadar. Plis, maafin aku?” ujar kejujuran diselipi kebohongan.
“Kamu ga jawab pertanyaanku. Enak ga, Lif?” tanya Avil lagi. Aku hanya terdiam, menatap wajahnya sebentar lalu menundukan kepalaku. Kenapa dia bertanya pertanyaan seperti itu? Marahkah dia? Sedihkah? Dia tidak menunjukan emosinya seperti biasa. Seperti dua tahun yang berjalan, tak sekalipun dia menangis, mengumpat, menjerit. Senyum seperlunya, tertawa seperlunya, komentar seperlunya. Itu seorang Avil.
“Kenapa diem aja?” tanya Avil membangunkanku dari lamunan.
“Liat mataku, Lif.......Ki-ta ga bi-sa sa-ma-sa-ma la-gi. I’m through with you. You can find somene else to fuck! Aku kecewa sama kamu. Titik.” jawab lantang pendirian teguh Avil. Sekarang aku benar-benar dalam masalah. Tanpa argumen. Tanpa toleransi. Sebuah tanggapan yang memang sudah kuduga.
Brakkk!!! Avil pergi setelah membanting pintu sedan mungilku. Hanya punggungnya yang kulihat terakhir kali. Tak ada senyum singkat atau tatapan mata menunjukkan sedikit keterbukaan pintu maaf. Hanya titik, brak dan langkah kaki menjauh.

Kutinggalkan lima puluh missed calls dan sepuluh unread messages di layar ponselnya, setiap hari, tiga bulan terakhir. Tak satupun yang berbalas. Dia hilang dari hidupku. Seperti kapal-kapal hilang di Bermuda. Tak berbekas.
Dia hilang setelah aku mencoba jujur padanya dengan harapan sebuah maaf.
Dia. Dia. Dia. Andai tak kucium Dia. Avil akan masih bersama Alif. Avil masih bersandar di pundak Alif. Masih berpelukan di kasur usang hotel melati, bercumbu dan bercinta. Berpisah dari dunia. Hanya aku dan dia. Dengan keyakinan cinta mengalahkan segalanya.
Tujuh tahun. Tiga bulan. Dua minggu. Tiga hari.
Dia. Dia. Dia. Andai tak kucium Dia. Avil masih bersama Alif. Avil masih bersandar di pundak Alif. Masih berpelukan di kasur usang hotel melati, bercumbu dan bercinta. Berpisah dari dunia. Hanya aku dan dia. Dengan keyakinan cinta mengalahkan segalanya. Tanpa memiliki satu buah BMW 7series, satu buah istana megah, satu pabrik tembakau, lima novel bestseller, makanan panas, baju hangat, sepasang anak kembar, dan seorang istri paling cantik, pengertian, setia dan penyayang yang pernah hidup di muka bumi, Dia.