Saturday, December 12, 2009

Long Time No Letters

Bila kalian mengikuti, sudah lama sekali saya tidak menulis di blog ini. Bukan berarti saya kemarin-kemarin tidak menulis. Saya tetap menulis hanya saja tidak saya post disini. Saya lebih memilih menggunakan facebook untuk menerbitkan (bila bisa dikatakan demikian) tulisan-tulisan saya. Namun, saya rindu juga pada blog saya. Tidak tega melihatnya dibengkalaikan, padahal potensinya lebih besar daripada notes di facebook, saya pun memutuskan untuk menerbitkan salah satu tulisan saya disini lagi.
Bila kalian membaca tulisan-tulisan yang ada di blog ini sebelumnya, kalian akan menemukan beberapa tulisan yang tidak cukup baik (menurut standar saya sekarang). Saya tidak akan lagi mempost tulisan-tulisan macam demikian. Akan saya usahakan sebaik-baiknya tulisan yang dipost disini adalah tulisan yang sudah dipikirkan dengan matang penulisannya. Selain itu, saya juga akan berusaha untuk menerbitkan satu tulisan baru setiap dua minggu (tapi dengan catatangak janji deh.)
Pada saat ini saya sedang mengerjakan sebuah novel, masih terlalu dini untuk memberinya judul. Masih banyak penelitian yang harus dilakukan, tapi saya akan memberikan sedikit bocoran tentang ceritanya: seorang lesbian yang terjebak dalam tubuh seorang pria. Dimohon segala macam bantuan berupa doa, moril, maupun materiil dalam penulisan buku ini. Semoga saya tidak keguguran seperti jabang novel-jabang novel saya lainnya. Selamat membaca tulisan-tulisan saya.

Salam manis,

AP Devindra

Lompat

Kecil sekali orang-orang di bawah sana. Nyata sekali gedung ini lebih tinggi dari kelihatannya dari bawah. Tidak aku kira gedung 15 lantai akan setinggi ini. Di bawah sana hiruk pikuk kota tetap berjalan, tak mengindahkan satu sosok pria ceking di puncak gedung di atas mereka. Siapa pula yang pernah mengindahkan aku? Bagi orang-orang di sekitarku, aku hanyalah bayangan yang numpang lewat dalam hidup mereka. Aku hanya tempat sampah dimana mereka menumpahkan segala kekesalan hidup mereka padaku. Tak pernah aku menjadi lengkap di hadapan mereka. Tak pernah aku jadi subyek pembicaraan mereka. Aku hanyalah obyek penderita yang didahului berbagai macam kata kerja sebelum perhatian mereka jatuh padaku. Akulah yang termarjinalkan. Sesuatu yang marjinal tentunya takkan mengurangi derasnya gelombang laut atau kencangnya angin topan bila aku hilang ditelan bumi, menjadi nama di atas batu nisan. Ah, buat apa pula aku ingat-ingat lagi hidupku. Ia cuma memberikan perih padaku. Di hadapanku sekarang kematian telah membentangkan tangannya lebar-lebar dan siap memangku jiwaku, jiwa yang telah lama lebih dulu mati.

“Dhasar anak ndak tahu dhiuntung!” seruku di depan wajahnya. “Kamu kira uang sekolah itu ndak mahal apa? ADIIIL! Bhikin pusing aku aja kamu itu, Dil!” teriakku lagi sambil menjewer kuping Adil keras-keras. “Udah tho, Bu. Uwes tho. Ojo mbengak-bengok. Dhudu ngene carane. Uwes koyo ngene yo uwes, kowe mbengak-bengok yo Adil tetep ora munggah kelas,” sergah bapaknya. Aku menyahut, “Lha terus iki piye, Pak? Aku uwis kesel karo anakmu seng iki. Gawe nesu! Mbok kaya kakakmu itu lho, Dil. Ndhak pernah nyusahin orang tua.” Suasana rumah pada saat itu memang sudah tidak nggenah. Warungku sudah tidak selaku dulu karena banyaknya toko-toko swalayan yang dibuka di dekat rumah. Mereka berjualan dengan harga lebih murah dan barang yang lebih lengkap. Suamiku baru saja dipecat dari kelurahan, dituduh korupsi. Habis sudah sawah di kampung dijual untuk membiayai kuliah anak tertuaku yang belum juga lulus-lulus. Masih empat anakku yang membutuhkan biaya sekolah dan makan, dan yang satu ini tidak naik kelas. Kecewa aku dibuatnya. Sejak saat itu aku makin keras padanya. Aku keras karena aku sayang padanya. Seandainya aku tidak sekeras itu padanya dulu.

Aku bingung melihat adikku yang satu ini. Dia tidak seperti anak-anak lainnya, dia berbeda. Teman-teman sebayanya bermain di luar, sedangkan dia mengurung diri dalam kamar kami, asyik dengan gambar-gambarnya dan puisi-puisinya. “Puisi nggak bikin kaya, Dil. Main di luar sana sama teman-temanmu,” tegurku suatu ketika. “Aku mau jadi seperti Chairil Anwar, Mas,” sahutnya, “Dulu Chairil Anwar main sama teman-temannya tidak ya?” Aku tak bisa menjawabnya karena jujur saja aku tidak tahu. Lain waktu aku pernah bilang, “Seniman-seniman itu cuma orang gila, Dil. Mereka nggak punya kerjaan lain.” Dia tidak menghiraukan aku, entah dia dengar atau tidak. Sebenarnya aku kasihan padanya, selalu menjadi sasaran kemarahan ibuku, walau mungkin penyebab masalahnya bukan dia. Semakin besar dia semakin tertutup dengan anggota keluarga yang lain. Berbicara denganku pun hanya untuk memanggilku untuk makan atau membangunkan aku untuk sekolah. Ya, dia lebih rajin bangun pagi daripada kami saudara-saudaranya. Setiap pagi sebelum sekolah dia selalu bertengger di atap rumah. “Matahari itu indah ya, Mas? Sayang nggak banyak orang yang peduli sama keindahannya,” katanya padaku suatu kali. Aku tak mengerti apa yang dia bicarakan. Seandainya dulu aku lebih mendengarkan ricauannya.

Sudah banyak draft kumpulan puisi yang diajukannya ke penerbit. Tak ada satupun yang mendapat tanggapan. Pernah satu kali ada telpon dari salah satu penerbit, “Selamat siang, Pak Adil. Saya sudah menerima draft-draft karya bapak. Karya-karya bapak itu bagus sekali. Ada beberapa yang membuat saya tergugah saat membacanya. Tapi, mohon maaf, Pak, penerbitan tidak bisa menjual karya bapak. Walaupun bagus, tidak banyak yang berminat untuk membaca kumpulan-kumpulan puisi seperti yang bapak buat. Pembaca kita belum siap untuk membaca tulisan-tulisan demikian. Sekali lagi mohon maaf ya, Pak. Selamat siang.” Wajah suamiku yang sempat berbinar dan seolah-olah hidup kembali meredup dan kemudian padam. Sejak saat itu dia semakin menutup diri dari dunia luar. “Kamu tuh jangan mudah patah arang seperti itu donk. Kan masih banyak yang bisa kamu kerjain selain bikin puisi. Kerja apa kek? Kamu kan bisa minta tolong sama Mas Adi untuk diberi pekerjaan. Dia kan kakakmu, pasti dia mau bantu,” kataku di sela-sela makan malam. Dia tidak bicara apa-apa hanya langsung meninggalkan meja makan. Tak ada pertengkaran di rumah tangga kami. Tak ada keluh kesahku yang dia bantah. Tidak satupun. Dulu kami tidak begini. Dulu aku adalah matahari baginya. Dia bisa membicarakan semua khayalan-khayalannya padaku. Dia mengumbar mimpi-mimpinya. Tapi dia berhenti berbicara ketika tak ada mimpinya yang jadi nyata dan ketika aku berhenti mendengarkan. Jika saja dulu aku bisa menjadi inspirasinya hingga dia bisa menulis sesuatu yang bisa diakui orang. Pengakuan, hanya itu yang dia perlukan dan aku tak bisa memberikan itu padanya, Mas Adilku sayang.

Hutang. Bisakah seseorang hidup tanpa hutang? Semakin kaya seseorang semakin besar hutangnya. Tak lagi hutang sama tetangga, tapi hutang pada negara. Hutangku hanya sebatas pada saudara. Tapi sudah terlampau besar untuk dianggap hutang, hidupku dibiayai oleh kakakku, anak kebanggaan ibu bapakku. Keluarga kami menjadi kaya hanya karena dia. Tak ada anggota keluarga kami yang tidak kenal asuransi. Mulai dari harta benda, kesehatan, sampai kematian, semua diasuransikan. Hebat betul kakakku satu-satunya itu. Semua adik-adiknya dibiayai sekolah hingga sarjana, kecuali aku, dunia akademis bukan duniaku, alam adalah guruku. Ah, sudahlah. Hidup itu sudah berlalu. Kini kematian di hadapanku. Selangkah lagi maka sakit ini akan berakhir. Sudah kutinggalkan surat perpisahan bagi mereka para sumber rasa sakitku. Biar mereka tahu betapa mereka menyiksa aku, betapa mereka selalu memisahkan aku dari takdir langitku. Selamat tinggal dunia. Matahari, aku datang.

Angin kencang menerpa tubuhku seiring aku meluncur ke bawah. Cermin-cermin gedung memantulkan lesatan jatuhku, mungkin di dalamnya ada yang terkejut melihat sekelebatan tubuh melintas di depan mata mereka. Adrenalinku memuncak, memompa darah lebih kencang ke dalam otakku. Benar kata orang ketika seseorang mendekati kematian seluruh bayangan hidupnya akan berputar mundur dengan cepat. Keluh kesah istriku dan senyumannya yang sejuk seperti udara puncak di malam hari. Perintah-perintah kakakku dan teladannya yang tak pernah aku ikuti. Umbar kemarahan ibuku dan belaiannya yang lembut di wajahku. Wajah ayahku yang hangat namun jauh. Orang-orang ketakutan melihat aku meluncur turun di atas mereka. Oh, hidup, kenapa aku harus mati seperti ini? Ah, aspal hitam, kenapa kau begitu diam dan keras hingga mematikan?