Monday, April 20, 2009

Tuan

Di sebuah gudang tua yang sudah tak terpakai, seorang Amir tertunduk di sebuah kursi besi dengan tangan terikat ke belakang dan kaki terikat ke kaki-kaki kursi dalam keadaan telanjang. Temaram lampu gantung membentuk bayangan kepala di dadanya. Di hadapannya Mark berdiri sambil menggenggam kunci inggris di tangan kanannya. Lengan kemejanya disingsingkan. Tak jauh dari dia berdiri tergeletak jas hitam miliknya. Sarung pistolnya bertahta dengan gagah di pinggangnya, sebuah Desert Eagle 2.0 terlelap nyaman di dalamnya.

Mark: Dimana tuan lo?

Amir mendongakkan kepalanya dan tersenyum, kemudian tertawa.

Amir: Bego lo! Hahaha.

Mark mengayunkan kunci inggris ke dengkul kanan Amir. Amir meringis kesakitan tanpa kehilangan senyum di wajahnya.

Mark: Sekali lagi gw tanya, dimana tuan lo?

Amir: Bego lo! Hahahaha.

Kali ini Mark mengayunkan kunci inggris ke pelipis kiri Amir. Darah pun merembes dari pelipis amir dan mengaliri wajahnya.

Amir: Apa gunanya lo ngelakuin ini semua ke gw? Jawaban yang lo cari gak akan lo temukan dengan cara seperti ini. Bego lo!

Mark: Gw bego? Klo gw liat sekarang, bukan gw yang sedang terkulai telanjang di atas kursi besi. Bukan gw yang dikhianati oleh komplotannya. Bukan gw yang menebar teror di tengah-tengah masyarakat atas dasar fanatisme terhadap pemimpin fiktif yang gak pernah keliatan batang hidungnya.

Amir: Lo bego, karena lo gak sadar betapa samanya kita berdua. Lo bego karena lo gak sadar klo lo dikendalikan seperti boneka. Bego lo! Hahahaha.

Mark kembali mengayunkan kunci inggris ke pelipis kanan Amir. Darah pun semakin deras mengucur. Tawa Amir perlahan kehilangan suaranya seiring hilangnya kesadaran Amir.

Lima menit kemudian, Mark menyiram Amir dengan seember air. Amir sayup-sayup membuka matanya sambil menahan perih dari darah yang masuk ke matanya. Dia melihat Mark sedang berjongkok di hadapan kotak berwarna putih dan memegang dua buah kabel. Mark kemudian berdiri dan menghampiri Amir sambil memegang dua kabel itu, masing-masing satu di tiap tangannya.

Mark: Sudah mau bicara?

Amir menjawab pelan dalam keadaan setengah sadar.

Amir: Bicara apa? Menjawab pertanyaan goblok lo?

Mark menaruh salah satu ujung kabel di leher Amir dan satu lagi di selangkangan Amir. Tubuh Amir tersentak dan mengejang. Aliran listrik dalam tubuhnya memaksa Amir mengerang, menggerung, dan tergelak. Lima menit lamanya listrik 200 volt dari aki dialirkan ke tubuh Amir.
Mark melempar kedua kabel listrik ke lantai dan merogoh kantongnya. Dia mengeluarkan sebungkus rokok kretek dan mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya. Dia bersandar ke tembok di belakang Amir, menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghela napasnya dengan berat. Tangan kanannya yang memegang rokok memijat dahinya yang berkernyit.
Amir mulai berbicara pelan.

Amir: Lo bertanya sama gw dimana bos gw seolah-olah lo sendiri tau bos lo dimana. Jangankan dimana, siapa bos lo aja lo gak tau. Bego lo. Gw mungkin gak pernah bertemu dengan bos gw, tapi gw tau dia ada. Gw mungkin dikhianati oleh komplotan gw, tapi itu demi kepentingan yang lebih besar. Bila nyawa gw harus diserahkan untuk sebuah tujuan besar dan maha, gw rela, gw ikhlas.

Mark bergerak menjauh dari tembok tempat dia bersandar dan menghampiri Amir.

Mark: Gw tau tuan gw siapa. Gw tau dia ada dimana. Dia yang memerintahkan gw untuk berada disini sekarang di hadapan lo untuk mengungkap rencana besar tuan lo yang mengganggu ketenangan bangsa ini. Lo itu cuma bagian kecil dari sebuah proses pemusnahan bangsa ini, lo itu gak berharga buat tuan lo. Buat apa lo serahkan nyawa lo demi dia?

Amir: Lo yakin dia itu tuan lo? Gak ada tuan lagi di atas dia? Lo tuh cuma boneka buat tuan lo. Sama kaya gw. Sadar gak sih lo? Kita ini cuma bidak-bidak catur yang bisa dibuang kapan aja. Gw sadar tentang itu, makanya gw rela ketika gw ada di situasi seperti ini. Nyawa gw sekarang udah gak ada di tuan gw, tapi ada di tangan lo. Dalam sekejap mata gw bisa gak melek lagi. Dalam setarikan napas gw bisa gak bernapas lagi. Semua itu sekarang ada di tangan lo dan gw tau gw gak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup. Kita ini robot perebutan kekuasaan.

Mark: Stop! Lo gak menjawab pertanyaan gw. Omong kosong lo ini gak ada gunanya buat lo. Klo lo mau selamat, lo kasi gw informasi yang gw butuh. Gw ga butuh nasihat lo, jangan memperpendek umur lo dengan sok jadi guru buat gw. Gw tau gw mengabdi untuk siapa dan untuk apa. Bangsa ini perlu bidak-bidak seperti gw yang tak terlihat untuk menjaga ketentraman.

Amir: Ketentraman apa? Ketentraman itu cuma ilusi untuk memupuk rasa takut supaya penguasa tidak diganggu gugat. Lo sama pembunuhnya kaya gw. Lo sama pendosanya kaya gw. Lo sama tak bernilainya kaya gw. Yang membedakan kita cuma dalam kuasa siapa kita tunduk. Tujuan besar tuan-tuan kita tak berbeda busuknya. Pengabdian gw terhadap tuan gw bukan sebuah pengabdian buta, gak kaya lo. Lo menganggap diri lo bersih, suci, benar, dan melakukan tindakan heroik. Tidak ada yang heroik dalam menelanjangi orang kemudian menyiksa mereka. Bego lo!

Mark: Lo pintar bicara, Amir. Klo saja gw ga butuh informasi dari lo, udah gw potong lidah lo dari lima menit yang lalu. Lo kira gw melakukan ini semua dengan tanpa kesadaran? Yang bego itu lo. Terlalu naif untuk melihat bahwa bangsa ini terlalu kuat untuk lo musnahkan, karena bangsa ini punya tuan gw yang membelanya. Gw adalah pelindung bangsa ini. Dan segala macam cara untuk melindunginya akan gw lakukan, tindakan itu akan dibenarkan.

Amir: Oh, Mark. Siapa yang naif? Tujuan tuan-tuan kita sama, menguasai bangsa ini; memindahkan penentu nasib bangsa ini di bawah satu kuasa, dengan cara apapun. Teori pemusnahan yang lo bilang itu cuma sebuah propaganda tuan lo untuk menggaet para patriot bangsa ini dan menempatkan tuan gw sebagai seorang musuh.

Mark: Lo buta, Mir. Lo gak bisa ngebedain belalai gajah dari buntutnya. Lo udah terlalu banyak bicara dan lo membuang-buang waktu berharga gw.

Mark mengambil Desert Eagle 2.0 yang menggantung di pinggangnya. Dia menodongkan pucuk pistolnya ke dahi Amir. Amir memejamkan matanya, tersirat sedikit rasa takut dari gemetar tubuhnya.

Amir: Lo gak perlu melakukan ini, Mark. Kita bisa menggantikan tuan-tuan kita dan membuat bangsa ini hidup dalam damai, tak perlu lagi ada pertentangan. Kita sama pintarnya dengan tuan-tuan kita. Mereka tak berbeda dengan kita. Mereka juga dulu bidak-bidak seperti kita. Kita bisa membawa bangsa ini menjadi lebih baik bila kita bersatu.

Mark: Tidak, Amir. Bangsa ini tidak butuh pemimpin baru. Bangsa ini hanya butuh tuan gw. Dia yang akan membawa bangsa ini hidup dalam damai. Lo terlalu banyak berbicara, Amir. Cobalah menjawab pertanyaan tanpa basa-basi saat di neraka nanti.

Mark menarik pelatuk pistolnya. Darah dari kepala Amir muncrat ke wajahnya. Amir terkulai tanpa nyawa. Suara telepon seluler Mark memecahkan keheningan setelah suara letupan pistol menyerap segala suara kehidupan dalam gudang itu. Mark merogoh kantong celananya dan menjawab telponnya.

Mark: Ya, Tuan. Target tidak menyediakan informasi yang kita perlukan dan sudah dimusnahkan. Baik, Tuan. Segera meluncur kesana.

Mark menutup telpon dan memasukkannya kembali ke kantong. Wajahnya pucat kosong menatap Amir yang sudah terbujur kaku. Dia mengambil jerigen berisi bensin dan menyiramkannya ke sekujur tubuh Amir. Dia mengeluarkan bungkus rokok dan menyulut satu batang kemudian menghisapnya.

Mark: Maaf, Amir. Pengorbanan lo harus sia-sia. Kami sudah menemukan lokasi tuan lo. Mungkin kita akan bertemu di kehidupan selanjutnya dan bertemu tidak dalam situasi seperti ini. Mungkin saat itu, kita bisa berteman. Klo saja kita tidak berdiri berlawanan arah, kita bisa menjadi sahabat sehati.

Mark menyalakan korek dan menyulut tubuh Amir. Dia mengambil jasnya yang tergeletak tak jauh dari tubuh Amir yang berkobar. Dia berjalan ke arah pintu besi gudang itu, mematikan lampu gudang, membuka pintu, menengok ke belakang untuk melihat kobaran tubuh Amir, kemudian menutup pintu gudang dari luar.

No comments: