Saturday, March 21, 2009

Ketidakmustahilan Perdamaian Dunia

Bila kalian adalah pencari jawaban dan selalu bertanya ‘kenapa?’ atas segala hal yang terjadi di dunia ini, kalian mungkin ingin membaca tulisan ini. Pada tulisan ini saya akan berusaha menjabarkan sedikit tentang bagaimana mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan pengetahuan saya yang terbatas. Tulisan ini akan memakan waktu beberapa lama untuk membacanya, jadi posisikan diri kalian senyaman mungkin untuk membaca tulisan ini. Here we go.


Seberapa sering kalian mendengar teori konspirasi dan bagaimana konspirasi itu mewakili pihak-pihak tertentu demi keuntungan mereka dengan mengatur dunia dan membuat banyak orang menderita? Saya berani menyatakan bahwa konspirasi dunia itu memang ada, namun tak ada pihak-pihak tertentu yang sewajarnya disalahkan. Bentuk konspirasi dunia yang ada itu semata-mata merupakan sebuah siklus semesta yang merupakan bagian sub-atom dari ‘higher being’.


Banyak dari kalian telah mendengar teori atom, struktur DNA, dan gen yang dimiliki oleh setiap makhluk kasat mata di dunia ini. Tapi mungkin tidak semua dari kalian menyadari bahwa hal-hal tersebut merupakan faktor utama mengapa kita menangkap dunia yang kita lihat, dengar, cium, dan rasakan sebagai kenyataan. Berdasarkan informasi dari narasumber yang tidak bersedia untuk diungkap identitasnya, bila partikel-partikel atom yang membentuk wujud kasat indera ditelaah hingga ke bagian terkecilnya maka akan terungkap bahwa dalam atom itu tidak terdapat zat apapun atau hampa.


Dengan demikian, saya berani menyatakan bahwa kesadaran kitalah yang membentuk kenyataan. Kita sendiri yang membentuk dunia ini. Kita sendiri yang menentukan arah langkah kaki kita, lain tidak. Kesadaran itulah yang menyatukan kita, sehingga kita berinteraksi dengan alam sekitar kita. Kesadaran itulah yang membuat kita dan segala isi dunia memiliki suatu hubungan. Kesadaran sejati itulah yang berusaha diungkapkan dalam kitab-kitab agama-agama kuno dan kemudian diberikan label ‘Tuhan’ oleh agama-agama monoteistik.


Namun, lambat laun, kesejatian dari pesan-pesan spiritual itu terdistorsi oleh tembok-tembok ilusi yang diciptakan manusia dan diteruskan turun temurun hingga akhirnya manusia melupakan bentuk sejatinya. Bentuk kealpaan itu bisa kita lihat dari pengabaian kita akan kemampuan sejati manusia bergantung pada benda-benda non-alami. Sejatinya manusia tidak memerlukan perantara apapun untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya, bahkan tidak dengan menggunakan bahasa. Namun, pada saat ini manusia seolah-seolah kehilangan anggota tubuhnya ketika telepon seluler mereka rusak, hilang, tertinggal, atau terlupakan. Manusia seolah-olah lumpuh sendi-sendinya jika tak dapat menemukan angkutan umum, kendaraan pribadi, atau bentuk fasilitas transportasi lainnya. Bentuk kemanjaan ini yang akhirnya menjauhkan manusia dari bentuk manusia sejati lainnya.


Dalam kitab suci agama monoteistik, yang saya anggap sebagai buku sejarah tertua manusia, terdapat kisah mengenai menara Babel. Kisah tersebut bercerita tentang pada dasarnya manusia tidak memerlukan bahasa untuk berkomunikasi. Faktor tersebut membuat manusia sombong. Kesombongan manusia dapat terlihat dan dalam usaha mereka mendirikan menara tinggi untuk mengungguli langit. Karena kesombongan ini merupakan hal yang tidak sewajarnya dimiliki manusia, kesadaran tertinggi kemudian menyadari hal ini. Sebagai bentuk introspeksi kesadaran, bahasa menjadi dibutuhkan untuk membatasi manusia dalam berkomunikasi agar tidak menyamakan persepsi dan kemudian menjadi sombong. Penyadaran bahwa kesombongan sebagai ketidakwajaran karena dengan adanya kesombongan maka akan menghilangkan sifat rela yang sejatinya dimiliki manusia. Dampak yang timbul akan usaha peniadaan kesombongan komunal ini justru berubah menjadi penyombongan diri. Dari sinilah timbul rasa iri, dengki, marah, serakah, dan kebutuhan akan kuasa.


Pada era ini kesadaran tertinggi sedang berada pada fase keterbuaian terhadap duniawi. Manusia sebagai bagian dari kesadaran tertinggi sudah sewajibnya kembali memiliki kesadaran atas hidup yang mereka jalani. Sebuah pencarian jati diri ini harus dijalani untuk mengenal diri manusia dan kembali pada tingkat kesadaran tertinggi. Sebuah pencarian tidak dapat dilakukan tanpa mempertanyakan segala sesuatu sebelumnya. Dengan demikian, seorang manusia sewajarnya melawan dirinya sendiri akan segala sesuatu yang menghalangi dirinya menjadi bentuk manusia sejati. Bentuk perlawanan itu akan membawa diri manusia pada keadaan lelah melawan dan akhirnya menemukan bahwa suatu pencarian atau tujuan tidak memerlukan adanya perlawanan namun cukup dengan menjalani kerelaan dan mengganti sudut pandang terhadap kehidupan. Kerelaan ini yang akan membawa manusia menuju perdamaian. Namun perdamaian itu tidak akan dengan begitu saja terwujud, sebuah perwujudan duniawi akan kerelaan diperlukan. Dengan kata lain, sebuah tindakan nyata akan kerelaan harus dilakukan. Tindakan nyata ini akan menjadi contoh bagi manusia-manusia lainnya. Sehingga penetapan sikap yang mencerminkan kerelaan akan segala sesuatu dapat sejatinya tercapai di seluruh dunia. Tapi, apa itu rela?


Rela akan sulit ditemukan dalam keadaan yang membenci diri sendiri. Untuk itu, belajar mencintai pun menjadi penting. Kecintaan manusia akan menyilaukan matanya sehingga diperlukan usaha untuk belajar mengatasinya. Pada tahap ini kerelaan akan ditemukan dan kemudian membawa kita pada kesadaran tertinggi. Namun, apa yang kita tahu tentang cinta?


Tulisan ini tidak akan memberikan kalian sebuah jawaban akan sesuatu. Ini hanya sebuah pemicu bagi kalian untuk mulai mempertanyakan dan memulai perjalanan spiritual untuk menemukan jati diri kalian dan memahami peran kalian di dunia. Sebuah tips dari saya, ketika kalian sudah menemukan yang kalian cari, relakan saja. Ya sudahlah. Sepele.

1 comment:

Anonymous said...

context2nya yg anda bahas sangat menarik: kenihilan existence kita, how we make our own version of reality, the failure of language, terperangkapnya manusia dalam dunia fisik, dll. tapi context2 ini terlalu dipaksakan untuk membuat suatu poin. sayang, jadinya bnyk yg melenceng; judul tulisan ini menurut saya irrelevant dengan context2 yg anda bahas - terlalu naif pula lagian. maaf sebelumnya kalo saya berlaga sotoy tapi saya lebih nyaman kalo blak2an, saya harap anda juga begitu. haha.
'critic does not mean criticize' kalo kata patti smith.